Senin, 31 Mei 2010

CUSTOMER RELATIONSHIP 2 MENIT di call center

Salah satu tugas pengadaan Call Center bagi perusahaan adalah untuk membangun customer relationship management (CRM) dengan pelanggan. Apakah ini tepat, mengingat waktu interaksi yang terbatas? Rata-rata Average Handling Time di Call Center saja hanya 2 menit saja.

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, konsultan Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, Rata-rata penanganan pelanggan oleh seorang customer service officer (CSO) di Call Center besar mencapai 2 menit. Memang jika dipandang dari sisi perusahaan, terasa aneh jika CRM menjadi salah satu tujuannya. Mana mungkin membangun relationship hanya dengan 2 menit? Jika rata-rata pelanggan menelepon call center sebanyak 2 kali setahun berarti kesempatan membangun hubungan dengan pelanggan hanya 4 menit. Sedikit sekali, bukan?

Dari sisi pelanggan lain halnya. Call Center yang mudah diakses layaknya seperti teman, partner dan tempat yang paling praktis dan efisien untuk berhubungan. Bagi pelanggan, akses Call Center yang mudah saja sudah merupakan suatu bentuk hubungan. Ibaratnya, sama seperti kita membangun hubungan dengan tetangga yang sangat dekat sebatas jangkauan kaki melangkah. Sekalipun jarang berinteraksi, tetapi tetap saja ada keinginan untuk saling menjaga, membina dan memelihara hubungan baik.

Hubungan baik tidak harus diwarnai dengan interaksi dalam waktu yang lama. Apalagi dengan pelanggan, pelanggan lebih menginginkan ”quality time ketimbang quantity time”. Walaupun sebentar saja, 2 menit misalnya, perusahaan sudah harus mampu menyelesaikan dan menangani kebutuhan dan keinginan pelanggan. Bahkan, semakin singkat, semakin baik pula dalam menimbulkan impresi ”expertise” dan perhatian yang luar biasa kepada pelanggan. Kecepatan akses dan keakuratan solusi merupakan hubungan dengan pelanggan itu sendiri, karena pelanggan akan datang lagi untuk meminta pelayanan kepada perusahaan.

HOW TO TOUCH THE CUSTOMER HEART

Sudah sering saya mendengar saran atasan untuk melakukan sentuhan pada hati pelanggan. Terus terang tidak pernah digambarkan secara gamblang bagaimana hal ini dilakukan, sementara kami bekerja dibatasi waktu dan target tinggi. Demikian pula dalam SOP dan standar pelayanan, tidak ada petunjuk pasti bagaimana menyentuh hati pelanggan.

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, pakar Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, “touch customer heart” adalah sebuah makna yang sulit dilakukan tanpa contoh. Apalagi harus dilakukan oleh mereka yang dikejar-kejar target dan dituntut bekerja sesuai dengan SOP dan standar. Ini adalah sebuah wejangan dan harapan manajemen yang senantiasa diberikan kepada para frontliner, yang memang bertugas tiap hari “bersentuhan” dengan pelanggan. Mengapa frontliner yang diminta melakukan ini?

Secara fisik memang merekalah yang lebih punya kesempatan untuk melakukannya. Jadi, kesannya memang seolah-olah touch customer heart ini hanya urusan frontliner saja. Jika pelanggan marah dan tidak puas maka merekalah sasarannya. Karena sering tidak dicontohkan dalam standar pelayanan dan SOP, maka soal terlaksana atau tidaknya wejangan ini tergantung pada kreativitas dan kemauan masing-masing frontliner. Apalagi kalau contoh day to day-nya tidak ada serta tidak ada yang memulai dan melakukannya. Parahnya lagi, kalau atasan belum melakukan dan belum tahu bagaimana mempraktikkan touch customer heart ini.

Frontliner kita jadi suka kehilangan kreativitas. Banyak yang mengira melakukan touch customer heart harus dengan biaya, harus ada bujet yang cukup. Paradigma ini tidak dapat disalahkan seratus persen. Karena kreativitas sering hilang, maka yang ada di depan hanyalah sebuah hambatan. Soal touch customer heart memang tidaklah mungkin ditulis dalam standar pelayanan. Sebab, kalau sudah ditulis dengan contoh-contoh, maka bisa dibayangkan standar pelayanan ini harus direvisi setiap minggu. Aktivitas yang menyentuh pelanggan jika dilakukan pertama kali akan menyentuh, jika dilakukan secara rutin tanpa spontanitas akan sudah tidak menyentuh lagi, dan sudah menjadi sebuah standar yang diharapkan oleh pelanggan.

Mari kita lihat apa yang dilakukan Nordstorm, sebuah department store di Amerika. Sederhana saja. Suatu saat di musim salju, seorang pelanggan bersama istrinya masuk ke salah satu toko Nordstorm. Selang beberapa langkah masuk, tiba-tiba ada seorang frontliner datang menyapa dan mengatakan, “Selamat siang bapak dan ibu, selamat datang di Nordstorm. Tolong tunggu sebentar saja di sini ya, saya akan kembali.” Kemudian sambil berlari mengambil sesuatu dengan cepat di konter, si frontliner segera kembali lagi dengan membawa tisu.

Kemudian dia mengatakan, “Saya melihat Anda membutuhkan pakaian penghangat badan ya, Pak.” Si pelanggan terkejut dan bertanya, “Dari mana Anda tahu?” Sambil minta maaf membersihkan butiran salju yang menempel di bagian bahu pakaian pelanggan pria, dia mengatakan, ”Yah, sejak masuk, saya melihat Bapak kedinginan dan ada salju di pundak Bapak.” Betapa terkejut dan terkesannya pasangan suami-istri ini. Singkat cerita, mereka berbelanja semua yang mereka butuhkan di sana.

Ada banyak contoh seperti kasus Nordstorm ini, namun yang terpenting di sini adalah soal mendefinisikan “touch customer heart”. Sesuatu yang sederhana, tidak berada di luar konteks skop pekerjaan, tidak membutuhkan biaya. Hanya kemauan mengamati, mengenal, dan memperlakukan pelanggan dengan benar—seperti kita memperlakukan kakek dan nenek kita jika pelanggannya tua; memperlakukan ayah dan ibu kita jika pelanggannya seumur dengan ayah dan ibu kita; memperlakukan pelanggan seperti diri kita sendiri jika pelanggannya seumur dengan kita; memperlakukan pelanggan seperti kita memperlakukan adik jika pelanggannya lebih muda dari kita. Demikian pula jika pelanggannnya bayi, maka perlakukanlah pelanggan ini seperti bayi kita sendiri. Inilah kuncinya menerapkan touch customer heart.

MENCIPTAKAN BUDAYA LAYANAN

Setiap mendengar istilah budaya pelayanan, saya bingung untuk memulainya. Sepertinya itu sebuah pekerjaan yang memakan waktu lama karena harus mengubah perilaku yang bersifat mendasar.


Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, Konsultan Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, Budaya pelayanan memang merupakan dasar yang harus dimiliki oleh para pegawai manakala perusahaan tersebut ingin bergerak di jasa pelayanan. Tanpa adanya budaya pelayanan yang baik, sudah tentu perusahaan tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggannya. Bayangkan bila pelanggan Anda mengeluh kepada Anda dan pegawai Anda tidak memiliki budaya pelayanan. Mereka bukannya menangani keluhan Anda tetapi justru menanggapinya dengan cara yang tidak sopan. Hal semacam ini tentu saja bisa membuat pelanggan lari dan tidak mau lagi menjadi pelanggan kita.

Budaya pelayanan memang membutuhkan waktu untuk membentuknya. Lama tidaknya budaya pelayanan merasuk ke semua pegawai perusahaan tergantung seberapa besar pemahaman dari si pegawai akan budaya pelayanan. Akan berbeda tim yang memulai memahami budaya pelayanan dari nol dibandingkan tim yang sudah mulai sadar akan pentingnya budaya pelayanan. Namun, budaya pelayanan akan semakin meresap jika secara konsisten dan terus-menerus melakukan program dan kampanye pembentukan budaya pelayanan. Kampanye bisa dalam bentuk tertulis seperti mempromosikan value pelayanan yang ingin dibentuk seperti service excellence, responsiveness atau team work. Bisa juga dilakukan dalam bentuk training.

Ritz-Carlton mewajibkan karyawannya untuk mengantungi kartu yang berisi corporate values dari Rizt-Carlton. Setiap kali ada pelanggan komplain, mereka mengeluarkan kartu tersebut untuk mengingatkan kembali attitude karyawan yang harus dimiliki ketika berhadapan dengan pelanggan. Ada pegawai yang menaruh values tersebut di screen saver atau wall paper komputer masing-masing. Budaya pelayanan memang harus diingatkan terus-menerus supaya memiliki pengaruh kepada attitude pegawai. Namun, jangan dilupakan pula adalah membentuk role model yang bisa dijadikan teladan oleh karyawan. Akan sangat baik jika role model tersebut adalah orang-orang di tingkat manajemen. Pelayanan bagaimanapun adalah sebuah keteladanan.


SERVICE QUALITY: PROSES BISNIS ATAU FUNGSIKAH?

Beberapa kali terjadi perubahan penempatan bagian Service Quality di tempat kami, sebuah perusahaan perbankan. Pertama di bagian elektronik, selanjutnya dipindahkan ke bagian operasional, kemudian ke bagian yang terpisah di bawah bagian operasional. Sebaiknya di manakah tempat untuk Service Quality ini?

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, Konsultan Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality. Ada tiga tahapan perusahaan dalam memosisikan service quality atau service excellence. Pertama, sebagai sebuah wacana, himbauan sampai menstandarkan dan menjadikannya sebuah standar yang harus dipatuhi. Kedua, Service Excellence sebagai sebuah fungsi yang dikembangkan kebijakannya dan diterapkan oleh sebuah fungsi yang beratap pada sebuah direktorat dengan cakupan operasional yang lebih luas. Tingkat ketiga menempatkan Service Quality sebagai sebuah proses bisnis. Ketiga posisi ini bisa saja dianut oleh perusahaan yang berbeda-beda sekalipun mereka berada di satu industri yang sama. Mulailah dengan menganalisis di manakah letak “value added“ bisnis dikembangkan. Ketika value added tidak dapat diciptakan, maka “harga murah” menjadi pilihannya. Ketika value added diletakkan di fitur produk maupun service, maka inovasi fitur–komponen-komponen tambahan non-core benefit sought menjadi taruhannya. Ketika value added ditumbuhkan dari customer experience, maka semestinya business process yang menyenangkan pelanggan menjadi titik jual. Ketika punya business process yang menyenangkan pelanggan, apa pun yang dijual tidak masalah. Business process menjadi sebuah intangible asset yang baru bagi perusahaan. Pada hakikatnya perusahaan yang berhasil membangun value added di Service Quality, telah menjadikan Service Quality sebagai sebuah proses yang mempunyai sub-sub bagian proses bisnis—seperti proses bisnis order-fulfillment, enquiry, delivery, payment, after-sales service, dan lain-lain. Kuncinya terletak pada pengukuran seberapa besar standar kualitas pelayanan telah di-deliver oleh setiap proses bisnis. Ketika menjadikan service quality sebagai sebuah proses, maka beban delivery service excellence tidak bertumpu pada “people“ saja, tetapi terbagi dengan “system“ dan “technology”. Sehingga pendekatan holistic management dapat diterapkan dan “pesan kekuatan merek” dapat dikomunikasikan lewat seluruh customer touch points. Mulailah menempatkan Service Quality sebagai sebuah proses bisnis dan Anda akan merasakan perubahan-perubahan “Resources Allocation and Management” yang lebih terintegrasi.

BUDAYA TIPPING DAN KEPUASAN PELANGGAN

Sebagai manager pelayanan sebuah hospitality service company, saya sering dihadapkan pada dilema menghalalkan ”tipping” atau melarang sama sekali. adakah kaitan tipping dengan kepuasan pelanggan, apa yang sebenarnya diharapkan pelanggan?

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, pakar Service Quality dan Customer Management, Kita sering melihat di beberapa tempat pelayanan baik retail, hotel, restoran mengatakan dan menyarankan pelanggan untuk tidak memberikan tip kepada frontliner. Namun, tetap saja kita melihat pelanggan tidak mengindahkan anjuran ini dan tetap memberikan tip. Ada pelanggan yang merasa tidak nyaman jika tidak meninggalkan tip di dompet pembayaran di retoran, misalnya. Sekalipun sudah ada service tax tetap saja pelanggan meninggalkan tip. Ada yang memberikan 5.000 rupiah, 20.000 rupiah, ada yang meninggalkan hingga 50.000 rupiah, bahkan 100.000 rupiah.

Yang saya amati, semakin bergengsi tempat pelayanan tersebut semakin tinggi kecenderungan tip yang ditinggalkan. Frontliner yang bekerja di restoran pinggir jalan yang tidak bergengsi sering kali tidak mendapatkan tip dari pelanggan yang sama dibandingkan dengan frontliner yang bekerja di restoran di tempat bergengsi. Mengapa ini terjadi?

Tip sangatlah berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan untuk “menyatakan siapa dirinya”. Ini berkaitan dengan kebutuhan akan pemenuhan recognition dan self-esteem. Tipping bisa dijadikan sebagai keterlibatan pelanggan di dalam proses service delivery, tanpa tipping beberapa pelanggan merasa belum puas, karena belum punya kesempatan dikenali dan diberi kesempatan untuk menyatakan “harga dirinya”.

Saya masih ingat, seorang teman artis kawakan menyampaikan kepada saya bahwa menjadi artis terkenal biayanya juga tinggi. Soalnya, ke mana pun dia pergi ternyata dia merasa punya keinginan meninggalkan tip bagi frontliner yang melayaninya. Bahkan, besaran tip yang ditinggalkan tidak bisa sembarangan, ada angka psikologis yang harus ditentukan. Memberi tip kepada vallet boy, misalnya, sekalipun dia sudah bayar jasa vallet service tetap saja meninggalkan tip yang jauh lebih besar dibanding charge jasa dari perusahaan vallet service itu sendiri.

Apakah ini terjadi karena ada unsur paksaan? Atau apakah frontliner sering menunjukkan body language untuk diberi tip oleh pengguna jasanya? Sekalipun ada frontliner yang demikian, di sisi pelanggan ada juga yang merasa belum puas jika belum memberikan tip. Di sisi lain, ada pula pelanggan yang merasa terpaksa memberikan tip karena melihat pelanggan lain memberikan tip.

Lalu, apakah tip ini perlu dihilangkan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan? Pertanyaan yang sangat menarik. Menghilangkan secara total sangat mempunyai arti strategis. Di samping mungkin membahagiakan sebagian pelanggan yang tidak memerlukan recognition dan self-esteem, maka juga akan membuat sebagian pelanggan yang sangat memerlukan recognition dan self-esteem menjadi kurang puas karena kurang difasilitasi kebutuhan dan keinginannya. Kuncinya terletak dari kemasan positioning jasanya. Untuk tempat-tempat hang out para public fugure, artis, orang-orang sukses tentunya, mengombinasikan tipping dengan pengenalan akan kepersonalan mereka akan menjadi sebuah strategi kepuasan pelanggan yang menarik. Untuk tempat-tempat jasa yang bersifat “no frill” menghilangkan tipping ini bisa jadi dapat menstimulasi kepuasan pelanggan. Sekalipun dihilangkan, persoalan tipping akan tetap mengalir memenuhi mekanisme pasar. Tipping ini sudah menjadi sebuah fenomena “demand oriented pricing” yang sulit dicegah di industri jasa.

Saya mau berbagi cerita, di London ada sebuah resto bernama Just Around The Corner, yang menerapkan “demand oriented pricing policy”, maksudnya pelanggan diminta membayar sesuka mereka sesuai dengan penilaian berapa seharusnya mereka membayar pelayanan dan menu yang mereka nikmati. Kebijakan ini sangat sukses dan dijalankan sudah sejak tahun 1986. Kenyataannya, restoran ini tidak pernah sepi pengunjung dan rata-rata seorang pelanggan membayar lebih mahal dibanding dengan rata-rata seorang pelanggan membayar di restoran fine dining yang harganya telah ditentukan di daftar menu. Entah apakah karena memang pelayanan dan menunya yang superior atau ini berkaitan dengan budaya orang-orang berkelas di Inggris yang lebih tinggi keinginan dan kebutuhannya akan recognition dan self-esteem. Selamat bekerja.

Rabu, 19 Mei 2010

MENANGANI KOMPLAIN YANG BENAR

Sering kita mendengar bahwa keluhan itu adalah gift bagi perusahaan. Tapi sebenarnya bagaimana tips praktis di lapangan pada saat berhadapan dengan pelanggan yang marah? Apalagi akhir-akhir ini pelanggan semakin mudah komplain.

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL dan Konsultan Strategy Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, Keluhan memang sesuatu yang berharga untuk perusahaan. Dengan adanya pelanggan yang komplain kita sebenarnya bisa memahami kekurangan-kekurangan kita dan melakukan continuous improvement untuk perusahaan kita.

Kenyataannya memang banyak perusahaan tidak tahan dengan adanya komplain. Bahkan menanggapinya dengan over reactive. Sebagian perusahaan justru menganggap pelanggan yang komplain berbahaya bagi perusahaan. Padahal dalam banyak penelitian yang dilakukan, pelanggan yang komplain namun ditangani dengan baik justru memiliki tingkat kepuasan yang tinggi.

Menangani komplain memang harus dengan sistem. Sistem penanganan komplain yang baik akan berpengaruh kepada kepuasan si pelanggan. Yang jelas, pertama-tama kita harus memberikan kesempatan pelanggan untuk komplain. Menutup saluran komplain atau mempersempit ruang pelanggan untuk komplain justru berbahaya. Si pelanggan bisa mencari saluran komplain lain seperti ke media massa.

Kedua adalah memberikan kepada pelanggan perhatian yang penuh. Pada saat pelanggan marah atau komplain jangan mencoba untuk mengalihkan perhatiannya maupun perhatian kita. Bayangkan jika Anda sedang marah dan orang orang yang dimarahi terlihat tidak mempedulikan Anda, pasti Anda akan semakin marah. Berikan perhatian penuh dan dengarkan semua keluhannya secara lengkap. Akan lebih baik lagi jika Anda terus melakukan penggalian secara mendalam penyebab komplain. Dengan demikian Anda juga akan semakin memahami masalah.

Jangan pula menunjukkan sikap ketidaksetujuan atas problem pelanggan, apalagi berargumentasi dengan mereka. Setelah itu, minta maaflah kepada pelanggan atas kejadian ini.

Yang terpenting, Anda juga harus memiliki serangkaian jalan keluar untuk mengatasi problem si pelanggan. Kalau perlu, pikirkan hal-hal yang justru menciptakan unsur surprise bagi si pelanggan. Unsur surprise bisa dalam bentuk penyelesaian yang lebih singkat dari yang diharapkan pelanggan, atau bisa juga dalam bentuk compensation gift atas permasalahan yang didapat oleh pelanggan. Akhirnya, jangan lupa untuk berterima kasih karena perhatian mereka terhadap perusahaan. (Di sadur dari Kolom Konsultasi Majalah Marketing Bulan Oktober 2009)

ADAKAH HUBUNGAN MARKET SHARE DENGAN KEPUASAN PELANGGAN?

Market Share sudah menjadi indikator kinerja kerja kami bertahun-tahun. Selain mudah diperoleh datanya juga langsung menunjukkan kinerja relatif dibanding pesaing dan posisi merek di industri. Dua tahun belakangan kami memasukkan unsur Kepuasan Pelanggan sebagai kinerja tambahan. Sudah selama dua tahun ini, market share meningkat, tetapi Kepuasan Pelanggan menurun. Kenapa sepertinya tidak ada korelasi antar keduanya?

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL dan Konsultan Strategy Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, Market Share merupakan indikator yang sangat kompetitif ketika perusahaan sangat berorientasi kepada kompetitor bukan kepada pelanggan., pemasar sering terlalu berorientasi kepada pesaing, bukan kepada pelanggan. Yang dilakukan perang harga, diskon, membanjiri pasar dengan produk dan melakukan selling in besar-besaran untuk menggenjot selling out. Apa yang menjadi tujuan? Market Share meningkat. Apakah ini indikator yang sehat? Kapan market share ini menjadi indikator kinerja yang sehat?

Market Share menunjukkan bagaimana posisi merek dibanding pesaing dalam memenangkan persaingan masa lalu dan saat ini. Sedangkan Kepuasan Pelanggan, merupakan indikator untuk memprediksi kekuatan masa datang.

Mana yang lebih ampuh digunakan sebagai indikator kinerja kerja pemasnan? Tentu kedua-duanya dong. Karena, indikator yang satu melihat masa lalu dan masa kini, sedangkan yag lain melihat masa datang. Tanpa kinerja yang dapat memprediksi masa datang maka pengelolaan merek akan hanya bersifat jangka pendek. Jika demikian, merek akan diperas habis-habisan untuk menghasilkan cash di masa kini.

Yang sedang anda alami, banyak juga dialami oleh merek lain. Ada merek yang Market Sharenya tinggi, tetapi Kepuasan Pelanggannya rendah. Sebaliknya Market Sharenya rendah, dan kepuasan Pelanggannya tinggi. Atau ada pula yang dua-duanya tinggi, atau tidak jarang yang dua-duanya rendah. Keempat keadaan ini dapat dengan senagaja diciptakan atau dapat pula tidak dengan senagaja diciptakan. Tergantung mana yang dituju oleh perusahaan.

Contohnya, ketika tingkat persaingan cukup tinggi dan pasar belum jenuh, maka orientasi akan tertuju pada Market Share. Apakah ini aman? Ya selama pertumbuhan pasar masih di atas 50 persen, dan penetrasi pasar masih di bawah 50% siapa yang peduli?

Banyak yang berkomentar apa gunanya buang-buang sumber daya untuk menciptakan Kepuasan Pelanggan? Kata-kata ini sering saya dengar, tapi sah-sah saja. Namun pelan tapi pasti, sejalan dengan berjalannya waktu, ada masanya merek sudah harus beralih ke orientasi Kepuasan pelanggan. Terlebih ketika pertumbuhan pasar sudah mengarah ke single digit, dan penetrasi pasar sudah jenuh.

Merek yang berorientasi jangka panjang biasanya sudah siap dari awal, ketika pasar masih bertumbuh sudah berorientasi pada Kepuasan Pelanggan. Menurut pengamatan saya, biasanya merek-merek yang demikian yang bisa berdaya tahan.

Untuk merek Anda? Jangan kuatir. Keadaan yang Anda alami menunjukkan orientasi Anda masih jangka pendek. Pelan-pelan ubahlah untuk tidak melakukan gerakan-gerakan yang akan melonjakkan Market Share jangka pendek, dan tidak merusak Kepuasan Pelanggan. Contohnya, menekan biaya habis-habisan, melakukan perang harga, mengorbankan pelayanan kepada pelanggan, kurang berinvestasi di peningkatan pelayanan kepada pelanggan. (Diambil Dari Kolom Konsultasi, Majalah Marketing, Juli 2009)

EXCEPTIONAL SERVICE? OVER PROMISE? OVER DELIVER?

Harapan kita, setiap pelanggan menjadi ketagihan dengan servis kita. Tapi untuk membuat pelanggan ketagihan adalah hal yang sulit dikerjakan. Mungkin untuk mencapai hal itu harus mengeluarkan biaya banyak, sehingga menjadi sangat over resources. Apakah ada tips yang dapat dibagikan untuk membuat pelanggan bergantung pada kita? Dan, bukan kita yang bergantung pada pelanggan?

Menurut Yuliana Agung MBA, CEO Carre-CCSL dan konsultan kepuasan pelanggan dan Service Quality, Tujuan membuat program pemasaran yang membuat ’pelanggan ketagihan pada kita-dan bukan kita yang bergantung pada pelanggan’, mesti agak sedikit diubah. Kita tidak bisa membuat program yang membuat kita tidak bergantung pada pelanggan. Kenyataannya kita sangat bergantung pada pelanggan di masa sekarang, dan di masa mendatang. Tanpa pelanggan, kita tidak bisa eksis. Setiap bisnis membutuhkan pelanggan. Bisnis bisa jalan tanpa gedung, tanpa peralatan, tanpa banyak SDM. Tetapi bisnis tidak bisa hidup tanpa adanya pelanggan.

Membuat pelanggan ketagihan pada bisnis kita adalah tujuan utama pemasaran, sehingga kita mengharap tanpa usaha apapun pelanggan akan datang lagi, datang lagi di kemudian hari. Masalahnya, bukan hanya kita yang berpikir demikian. Pesaing kita tidak kalah gencarnya membuat program bersaing merebut hati pelanggan. Akuisi pelanggan dan retensi program gila-gilaan seperti hadiah besar, point reward dan segala gimmick. Hadiah besar, point reward, bukanlah jaminan untuk membuat pelanggan loyal dan ketagihan.

Melayani dengan hati sering didengungkan, kemudian membuat pelayanan prima, excellence, sering menjadi target kinerja. Semua ini baik dilakukan tetapi belum mencukupi untuk membuat pelanggan ketagihan pada bisnis kita.

Pada dasarnya pelanggan yang ketagihan adalah yang merasa tidak bisa mendapatkan value yang sama di tempat lain. Pelanggan menggunakan perasaan dan pikirannya untuk menentukan persepsi mereka tentang pesaing merek kita (siapa dan apa saja yang bisa dijadikan substitusi), maupun persaingan (tingkat perbedaan), yang ada untuk merek kita. Ketagihan dibentuk karena persepsi positif ’tanpa banding. Baik dari segi pesaingnya,maupun dari segi persaingannya’dan dengan merek atau substitusi lainnya. Keprimaan inilah yang harus dijaga.

Pada akhirnya, yang membuat pelanggan merasa tidak bisa mendapatkan value yang sama di tempat lain adalah strategi Positioning yang ’over promise juga over deliver’. Maksudnya berjanjilah pada pelanggan tentang sesuatu yang penting bagi pelanggan, tetapi yang tidak bisa dipenuhi oleh pesaing. Di sinilah letak perbedaan kita. Pelanggan harus dibuat tahu apa yang kita punyai. Jangan hanya pelanggan tahu, tapi kita tetapi tidak mencari tahu lebih dalam apa yang kita punyai. Dan tentang apa yang kita punyai, jika tidak diarahkan dalam komunikasi dan delivery yang konsisten, malah akan menimbulkan persepsi yang salah di benak pelanggan.

Ketagihan akan terjadi jika dalam proses delivery kita sangat exceptional. Jadi ada unsur ’delight’. Dan jika Anda perusahaan jasa, 95% unsur surprise ini ditentukan oleh kecanggihan front liners Anda dalam menentukan sentuhan akhir apa yang kira-kira membuat pelanggan merasa surprise. Seringkali bukan hanya hadiah, karena kalau hadiah pesaing bisa juga memberikan hal yang sama. Berilah sesuatu yang penting bagi pelanggan di luar hadiah. Setitik perhatian yang menyentuh akan membuat pelanggan Anda merasa sangat dihargai.


Sekali lagi, yang membuat program akuisisi Anda berhasil adalah karena ’over promise’, tetapi yang membuat mereka tetap menjadi pelanggan Anda adalah ’over deliver’. (Di ambil dari Konsultasi Majalah Marketing, Juni 2009)