Senin, 31 Mei 2010

BUDAYA TIPPING DAN KEPUASAN PELANGGAN

Sebagai manager pelayanan sebuah hospitality service company, saya sering dihadapkan pada dilema menghalalkan ”tipping” atau melarang sama sekali. adakah kaitan tipping dengan kepuasan pelanggan, apa yang sebenarnya diharapkan pelanggan?

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, pakar Service Quality dan Customer Management, Kita sering melihat di beberapa tempat pelayanan baik retail, hotel, restoran mengatakan dan menyarankan pelanggan untuk tidak memberikan tip kepada frontliner. Namun, tetap saja kita melihat pelanggan tidak mengindahkan anjuran ini dan tetap memberikan tip. Ada pelanggan yang merasa tidak nyaman jika tidak meninggalkan tip di dompet pembayaran di retoran, misalnya. Sekalipun sudah ada service tax tetap saja pelanggan meninggalkan tip. Ada yang memberikan 5.000 rupiah, 20.000 rupiah, ada yang meninggalkan hingga 50.000 rupiah, bahkan 100.000 rupiah.

Yang saya amati, semakin bergengsi tempat pelayanan tersebut semakin tinggi kecenderungan tip yang ditinggalkan. Frontliner yang bekerja di restoran pinggir jalan yang tidak bergengsi sering kali tidak mendapatkan tip dari pelanggan yang sama dibandingkan dengan frontliner yang bekerja di restoran di tempat bergengsi. Mengapa ini terjadi?

Tip sangatlah berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan untuk “menyatakan siapa dirinya”. Ini berkaitan dengan kebutuhan akan pemenuhan recognition dan self-esteem. Tipping bisa dijadikan sebagai keterlibatan pelanggan di dalam proses service delivery, tanpa tipping beberapa pelanggan merasa belum puas, karena belum punya kesempatan dikenali dan diberi kesempatan untuk menyatakan “harga dirinya”.

Saya masih ingat, seorang teman artis kawakan menyampaikan kepada saya bahwa menjadi artis terkenal biayanya juga tinggi. Soalnya, ke mana pun dia pergi ternyata dia merasa punya keinginan meninggalkan tip bagi frontliner yang melayaninya. Bahkan, besaran tip yang ditinggalkan tidak bisa sembarangan, ada angka psikologis yang harus ditentukan. Memberi tip kepada vallet boy, misalnya, sekalipun dia sudah bayar jasa vallet service tetap saja meninggalkan tip yang jauh lebih besar dibanding charge jasa dari perusahaan vallet service itu sendiri.

Apakah ini terjadi karena ada unsur paksaan? Atau apakah frontliner sering menunjukkan body language untuk diberi tip oleh pengguna jasanya? Sekalipun ada frontliner yang demikian, di sisi pelanggan ada juga yang merasa belum puas jika belum memberikan tip. Di sisi lain, ada pula pelanggan yang merasa terpaksa memberikan tip karena melihat pelanggan lain memberikan tip.

Lalu, apakah tip ini perlu dihilangkan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan? Pertanyaan yang sangat menarik. Menghilangkan secara total sangat mempunyai arti strategis. Di samping mungkin membahagiakan sebagian pelanggan yang tidak memerlukan recognition dan self-esteem, maka juga akan membuat sebagian pelanggan yang sangat memerlukan recognition dan self-esteem menjadi kurang puas karena kurang difasilitasi kebutuhan dan keinginannya. Kuncinya terletak dari kemasan positioning jasanya. Untuk tempat-tempat hang out para public fugure, artis, orang-orang sukses tentunya, mengombinasikan tipping dengan pengenalan akan kepersonalan mereka akan menjadi sebuah strategi kepuasan pelanggan yang menarik. Untuk tempat-tempat jasa yang bersifat “no frill” menghilangkan tipping ini bisa jadi dapat menstimulasi kepuasan pelanggan. Sekalipun dihilangkan, persoalan tipping akan tetap mengalir memenuhi mekanisme pasar. Tipping ini sudah menjadi sebuah fenomena “demand oriented pricing” yang sulit dicegah di industri jasa.

Saya mau berbagi cerita, di London ada sebuah resto bernama Just Around The Corner, yang menerapkan “demand oriented pricing policy”, maksudnya pelanggan diminta membayar sesuka mereka sesuai dengan penilaian berapa seharusnya mereka membayar pelayanan dan menu yang mereka nikmati. Kebijakan ini sangat sukses dan dijalankan sudah sejak tahun 1986. Kenyataannya, restoran ini tidak pernah sepi pengunjung dan rata-rata seorang pelanggan membayar lebih mahal dibanding dengan rata-rata seorang pelanggan membayar di restoran fine dining yang harganya telah ditentukan di daftar menu. Entah apakah karena memang pelayanan dan menunya yang superior atau ini berkaitan dengan budaya orang-orang berkelas di Inggris yang lebih tinggi keinginan dan kebutuhannya akan recognition dan self-esteem. Selamat bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar