Senin, 31 Mei 2010

HOW TO TOUCH THE CUSTOMER HEART

Sudah sering saya mendengar saran atasan untuk melakukan sentuhan pada hati pelanggan. Terus terang tidak pernah digambarkan secara gamblang bagaimana hal ini dilakukan, sementara kami bekerja dibatasi waktu dan target tinggi. Demikian pula dalam SOP dan standar pelayanan, tidak ada petunjuk pasti bagaimana menyentuh hati pelanggan.

Menurut Yuliana Agung, CEO Carre-CCSL, pakar Strategi Kepuasan Pelanggan dan Service Quality, “touch customer heart” adalah sebuah makna yang sulit dilakukan tanpa contoh. Apalagi harus dilakukan oleh mereka yang dikejar-kejar target dan dituntut bekerja sesuai dengan SOP dan standar. Ini adalah sebuah wejangan dan harapan manajemen yang senantiasa diberikan kepada para frontliner, yang memang bertugas tiap hari “bersentuhan” dengan pelanggan. Mengapa frontliner yang diminta melakukan ini?

Secara fisik memang merekalah yang lebih punya kesempatan untuk melakukannya. Jadi, kesannya memang seolah-olah touch customer heart ini hanya urusan frontliner saja. Jika pelanggan marah dan tidak puas maka merekalah sasarannya. Karena sering tidak dicontohkan dalam standar pelayanan dan SOP, maka soal terlaksana atau tidaknya wejangan ini tergantung pada kreativitas dan kemauan masing-masing frontliner. Apalagi kalau contoh day to day-nya tidak ada serta tidak ada yang memulai dan melakukannya. Parahnya lagi, kalau atasan belum melakukan dan belum tahu bagaimana mempraktikkan touch customer heart ini.

Frontliner kita jadi suka kehilangan kreativitas. Banyak yang mengira melakukan touch customer heart harus dengan biaya, harus ada bujet yang cukup. Paradigma ini tidak dapat disalahkan seratus persen. Karena kreativitas sering hilang, maka yang ada di depan hanyalah sebuah hambatan. Soal touch customer heart memang tidaklah mungkin ditulis dalam standar pelayanan. Sebab, kalau sudah ditulis dengan contoh-contoh, maka bisa dibayangkan standar pelayanan ini harus direvisi setiap minggu. Aktivitas yang menyentuh pelanggan jika dilakukan pertama kali akan menyentuh, jika dilakukan secara rutin tanpa spontanitas akan sudah tidak menyentuh lagi, dan sudah menjadi sebuah standar yang diharapkan oleh pelanggan.

Mari kita lihat apa yang dilakukan Nordstorm, sebuah department store di Amerika. Sederhana saja. Suatu saat di musim salju, seorang pelanggan bersama istrinya masuk ke salah satu toko Nordstorm. Selang beberapa langkah masuk, tiba-tiba ada seorang frontliner datang menyapa dan mengatakan, “Selamat siang bapak dan ibu, selamat datang di Nordstorm. Tolong tunggu sebentar saja di sini ya, saya akan kembali.” Kemudian sambil berlari mengambil sesuatu dengan cepat di konter, si frontliner segera kembali lagi dengan membawa tisu.

Kemudian dia mengatakan, “Saya melihat Anda membutuhkan pakaian penghangat badan ya, Pak.” Si pelanggan terkejut dan bertanya, “Dari mana Anda tahu?” Sambil minta maaf membersihkan butiran salju yang menempel di bagian bahu pakaian pelanggan pria, dia mengatakan, ”Yah, sejak masuk, saya melihat Bapak kedinginan dan ada salju di pundak Bapak.” Betapa terkejut dan terkesannya pasangan suami-istri ini. Singkat cerita, mereka berbelanja semua yang mereka butuhkan di sana.

Ada banyak contoh seperti kasus Nordstorm ini, namun yang terpenting di sini adalah soal mendefinisikan “touch customer heart”. Sesuatu yang sederhana, tidak berada di luar konteks skop pekerjaan, tidak membutuhkan biaya. Hanya kemauan mengamati, mengenal, dan memperlakukan pelanggan dengan benar—seperti kita memperlakukan kakek dan nenek kita jika pelanggannya tua; memperlakukan ayah dan ibu kita jika pelanggannya seumur dengan ayah dan ibu kita; memperlakukan pelanggan seperti diri kita sendiri jika pelanggannya seumur dengan kita; memperlakukan pelanggan seperti kita memperlakukan adik jika pelanggannya lebih muda dari kita. Demikian pula jika pelanggannnya bayi, maka perlakukanlah pelanggan ini seperti bayi kita sendiri. Inilah kuncinya menerapkan touch customer heart.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar